Makalah Pragmatik Patologi Bahasa

MAKALAH
PATOLOGI BAHASA
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pragmatik
Dosen Pengampu : Hesty Setyaharini M. Pd
Oleh :
                                     1. ERNA DWI LESTARI (1220717011)
                                     2. RENDY NOFIANSYAH (1220717014)
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
STKIP PGRI
PACITAN
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Patologi merupakan cabang bidang kedokteran yang berkaitan dengan ciri-ciri dan perkembangan penyakit melalui analisis perubahan fungsi atau keadaan bagian tubuh. Bidang patologi terdiri atas patologi anatomi dan patologi klinik. Ahli patologi anatomi membuat kajian dengan mengkaji organ sedangkan ahli patologi klinik mengkaji perubahan pada fungsi yang nyata pada fisiologi tubuh.
Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
B.     Rumusan Masalah
1)  Pengertian Patalogi ?
2)  Penyakit-penyakit bahasa ?
BAB II
PATALOGI BAHASA DAN PRAGMATIK
A.    Patologi
Patologi bahasa yaitu penyelidikan mengenai cacat dan gangguan yang menghambat kemampuan berkomunikasi verbal orang
Gangguan Bicara
Perkembangan bahasa tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan bicara. Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan anak dibesarkan. Kelainan bicara merupakan salah satu jenis kelainan atau gangguan perilaku komunikasi yang ditandai dengan adanya kesalahan proses produksi bunyi bicara. Ditinjau dari segi klinis, gejala kelainan bicara dalam hubungannya dengan penyebab kelainannya, dapat berupa:
     1. Disaudia. Disaudia adalah satu jenis gangguan bicara yang disebabkan gangguan pendengaran.
     2. Dislogia. Dislogia diartikan sebagai satu bentuk kelaian bicara yang disebabkan oleh kemampuan kapasitas berpikir atau taraf kecerdasan di bawah normal. Misalnya tadi dengan tapi, kopi dengan topi.
     3. Disatria. Disartria diartikan jenis kelainan yang terjadi akibat adanya kelumpuhan, kelemahan, kekakuan atau gangguan koordinasi otot alat-alat ucap atau organ bicara karena adanya kerusakan susunan syaraf pusat. Disartria memlikiki beberapa jenis, yaitu: Spatic Disatria, Flaksid Disatria,  Ataksia Disatria, Hipokinetik Disatria, Hiperkinetik Disatria.
4.    Disglosia. Disglosia mengandung arti kelainan bicara yang terjadi karena adanya kelainan bentuk struktur dari organ bicara. Kegagalan tersebut akibat adanya kelainan bentuk dan struktur organ artikulasi, yaitu: palaktoskisis (sumbing langitan), maloklusi (tumbuh gigi atas atau gigi bawah), anomali (bentuk lidah yang tebal tidak tumbuh velum atau tali lidah yang pendek).
5.    Dislalia. Dislalia adalah gejala gangguan bicara karena ketidak mampuan dalam memperhatikan bunyi-bunyi bicara yang diterima, sehingga tidak mampu membentuk konsep bahasa. Misalnya”makan” menjadi “kaman” atau “nakam”.
Gangguan Suara
Gangguan pada proses produksi suara merupakan salah satu jenis gangguan komunikasi. Gangguan tersebut meliputi :
1.    Kelainan nada.Gangguan pada frekuensi getaran pita suara pada waktu ponasi yang berakibat pada gangguan nada yang diucapkan.
2.    Kelainan kualitas suara. Gangguan suara yang terjadi karena adanya ketidaksempurnaan kontak antara pita suara pada saat adduksi, sehingga suara yang dihasilkan tidaksama dengan suara yang biasanya.
3.    Afonia. Kelainan suara yang diakibatkan ketidakmampuan dalam memproduksi suara atau tidak dapat bersuara sama sekali karena kelumpuhan pita suara.
Gangguan Irama
Gangguan bicara dengan ditandai adanya ketidaklancaran pada saat berbicara, meliputi :
1. Stuttering atau gagap
2. Cluttering adalah gangguan kelancaran bicara yang ditandai dengan bicara yang sangat cepat, sehingga terjadi kesalahan artikulasi sehingga sulit dimengerti. Terdapat 3 type yaitu: distorsi (pengucapan yang tidak jelas), substitusi (penggantian ucapan menjadi bunyi lain), omisi (penghilangan bunyi-bunyi).
3.    Palilalia adalah gangguan bicara diman kata atau frase yang diulang dengan cepat
B.     Pragmatik
1.      Bila Pragmatik tidak berfungsi dengan benar
Jika saja ada keharusan untuk memberikan pembenaran terhadap kajian pragmatik bahasa, maka memahami banyak kerusakan komunikasi yang terjadi ketika pragmatik tidak berjalan dengan baik adalah merupakan pembenaran itu sendiri. Para ahli terapi dari Royal College of Speech and Languange memperkirakan bahwa hamper 2,5 juta orang inggris mengalami persoalan komunkasi tertentu. Bagi sejumlah besar orang-orang ini, gangguan-gangguanpada tataran pragmatik merupakan kendala yang besar dan menghalangi komunikasi yang efektif.
Disini kami akan mencoba membahas sejumlah gangguan bahasa anak dan orang dewasa dimana proses-proses pragmatik mengalami gangguan atau dimana pengetahuan  pragmatik tidak pernah diperoleh secara efektif karena terjadinya suatu gangguan
2.      Persoalan-persoalan Definisi
Kajian-kajian ini bisa membantu dalam membahas defisit-defisit pragmatik dalam berbagai gangguan bahasa jika sejak dari permulaan kita dapat menetapkan fenomena-fenomena tertentu yang telah dianggap berkenaan dengan pragmatik oleh kajian-kajian ini.
Ada dua hal penting yang dapat dikemukakan tentang literatur linguistilk klinis tentang gangguan-gangguan pragmatik, yaitu :
1. Literature ini benar-benar bersifat komprehensif .
2. Gambaran klinis yang muncul dari kajian-kajian ini merupakan gambaran
yang lebih rumit daripada yang ditunjukan oleh istilah-istilah seperti “defisit”
dan “kerusakan”.
Kami akan membahas beberapa fenomena pragmatik yang menjadi fokus kajian-kajian ini menurut kategori-kategori berikut.
3.      Tindak tutur
       Tindak tutur merupakan fenomena pragmatik penyelidikan linguistik yang menonjol. Penggunaan dan pemahaman pragmatik telah diselidiki dalam kondisi-kondisi klinis dengan cara sama beragamnya seperti autisme, ketidak mampuan belajar, penyakit Alzheimer, cedera kepala tertutup dan kerusakan belahan otak kiri.
       Terdapat beberapa kondisi subyek yang terganggu tindak tutur yang merupakan indikator penting bagi fungsi pragmatik, diantaranya :
1.Kondisi dimana seseorang untuk memulai komunikasi belum berkembang secara normal  (autisme) atau apabila terus menerus mengalami kerusakan akan menjadi
2. Penyakit Alzheimer
3. Adapun yang bisa memproduksi tindak tutur namun tidak bisa mengubah sifat langsung berbagai tindak tersebut sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan kesantunan
4.Subyek tidak dapat mengetahui maksud penutur dalam memproduksi suatu
Ujaran
Contoh : sesorang berbicara “disini panas sekali” maksudnya nyalakan kipas angin namun si pendengar tidak memahami maksudnya.
       Tindak tutur merupakan kategori yanga kaya akan fenomena-fenomena pragmatik untuk dikaji oleh para ahli linguistik klinis.
4.      Konteks
       Dengan memanipulasi  aspek-aspek konteks linguistic dan ekstra-linguistik, para peneliti bisa mengembangakan gambaran yang kompleks tentang penggunaan konteks oleh para subyek yang mengalami gangguan bahasa. Beberapa kajian telah memanfaatkan berbagai macam metodologi dalam upaya untuk menyelidiki pengaruh konteks terhadap sejumlah cirri-ciri linguistik.
5.      Pengetahuan Pendenga
       Begitu banyaknya gangguan pragmatik dan berbagai gangguan bahasa lainnya yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan persoalan-persoalan dalam asesmen terhadap presfektif pendengar atau keadaan pengetahuan dalam komunikasi.
       Ada berbagai kajian yang cenderung menyelidiki bagaimana orang-orang yang mengalami gangguan bahasa mengubah komunikasi linguistik mereka agar dapat mengakomondasikan kondisi-kondisi pengetahuan yang berbeda pada pendengar.
C.    Persoalan-persoalan Defini
1.      Maksim-maksim dan implikatur percakapan
McDonald (1992) berpendapat bahwa kemampuan subjek untuk memenuhi kebutuhan-kebetuhan informasi seorang pendengar pada hakikatnya tergantung pada maksim cara. MCDonald menilai maksim ini dalam kasus subjek yang mengalami cedera kepala tertutup dengan meminta subjek tersebut untuk menerangkan sebuah permainan baru yang sederhana kepada seorang pendengar yang di tutup matanya dengan kain maksim hubungan , sering diamati kurang di manfaatkan dari komunikasi linguistic para penderita schizophrenia. Nonharfiah yang berbeda di ijinkan oleh maksim-maksim ini McDonald mempertimbangkan apakah dua orang subjek yang mengalami cedera kepala tertutup bias mengapresiasi sarkasme dalam pertukaran percakapan berikut (yang tentu saja muncul karna adanya pelanggaran maksim kualitas oleh A):
A.    What a huge meal!
Astaga, banyak sekali makananya!
B.     Don’t worry, there’s more to come
Jangan khawatir, masih lebih banyak yang akan dating
9.2.5 Inferensi
Dalam Konteks-konteks tersebut kita juga tahu bahwa inferensi sama bergamnya seperti fenomena-fenomena pragmatic dan berbagai fenomena lainya. Keragaman ini tercermin dalam kajian-kajian linguistic klinis terhadap inferensi dan bahasa para peniliti telah menyelidiki inferensi-niferensi yang berkaisar mulai dari inferensi-nferensi yang berbasis bahasa dan inferensi-inferensi yang memanfaatkan berbagai macam pengetahuan dunia yang berbed. Elilis weismer menyelidiki kemampuan anak-anak yang mengalami  gangguan bahasa untuk penyusun inferensi-inferensi ruang dan kausal,. Para subjek di beri cerita-cerita pendek dalam sebuah tugas verbal dan tugas gambar cerita di rancang untuk mengukur apakah anak-anak ini mampu menghitung inferensi-inferensi yang didasarkan pada pengetahuan mereka tentang bagaimana orang-orang dan benda-benda saling berhubungan secara ruang dan kkausal didunia.misalnya, dalam tugas verbal anak-=anak di beri cerita yang terdiri atas tiga kalimat          :
Grandma is in the boat.
            Grandpa kisses grandma.
            Granma winks at granpa.
            Nenek ada dalam perahu.
            Kakek mencium nenek.
            Nenek mengedipkan mata pada kakek
Bishop dan adam (1992) mengadopsi metodologi serupa dalam kajian penarikan inferensi pada anak-anak yang mengalami kerusakan bahasa khusus bos dan tiermey (1984) menyelidiki inferensi-inferensi pada anak yang mengalami ketidak mampuan belajar para subjek mengingat bacaan ekspositoris deskristif dan bacaan naratif. Kedua bacaan ini mengharuskan penarikan inferensi-inferensi yang didasarkan pada pengetahuan oleh para subjek.
Bos dan thierney berusaha memastikan apakah anak-anak yang mengalami ketidak mampuan belajar dapat menghitung inferensi-inferensi yang serupa dan, jika tidak dapat, mereka berusaha  menghubungkan rendahnya kemampuan membaca anak-anak ini dengan kerusakan-kerusakan dalam kelompok inferensi-inferensi ini. Dipper et al (1997) mengadopsi pendekataan teorirelevansi dalam kajian inferensi penghubung pada orang-orang dewasa yang mengalami kerusakan pada belahan otak kanan(RHD). Inferensi-inferensi penghubung yang diteleti tersebut berkisar mulai dari inferensi-inferensi teks yang terikat dengan bahasa hingga inferensi-inferensi inklopedia yang tergantung pada pengetahuan. Kelompok inferensi yang ketiga – inferensi-inferensi yang diperkuat oleh teks – melibatkan type inflikatur percakapan. ‘ contoh dari ke tiga inferensi tersebut diberikan dibawah.
Tekstual           : Kathy mengambil swelang panjang untuk menyiram taman.
                          Dia mengenakan mantel barunya yang tahan air.
Diperkuat teks : ujian itu bahkan lebih sulit dari pada yang diperkirakan paul.
                          Namun dia tetap yang terbaik dalam kelas.
Ensiklipedik    : saudara perempuan saya mencincang bawang.
                          Air matanya menetes ke wajahnya.
9.2.6. pengetahuan.
Para peneliti intelegensi artificial memanfaatkan naskah schemata, kerangka untuk mempresentasikan pengetahuan di antaranya tentang berbagai peristiwa dan scenario detik.
Asumsi yang menuntut para peneliti ini adalah bahwa gangguan bahasa pada populasi klinis ini bias dikaitkan dengan deficit pengetahuan dan bahwa bwawasan inteligensi artificial tentang struktur dan pengorganisasian konteks bisa memperbaiki pemahaman kita terhadap deficit-defisit tersebut.
Soodak (1990) menyelediki apakah orang-orang dewasa yang tidak mampu belajar bisa mengurutkan foto-foto peristiwa secara berurutan . dengan menyajikan peristiwa-peristiwa yang digambarkan dalam berbagai konteks yang kurang lebih sudah btidak asing lagi- dimensi lebih lanjut ini – soodak dapat memperkirakan kuatnya struktur- struktur pengetahuan pada para subjek ini. Kim dan lombardino (1991) membandingkan penggunaan perlakuan berbasis naskah untuk memahami konstruksi- kontruksi semantic pada empat anak yang tidak mampu belajar. Kontruksi – kontruksi semantic diceritakan lagi dalam kegiatan rutin pembuatan minuman susu dengan menggunakan ujaran – ujaran seperti ‘put the cup on top of the ice box’ (taruh mangkok itu pada bagian atas lemaries). Bahwa perlakuan berbasis naskah dalam menetapkan kontruksi- kontruksi ini dalam tiga dari keempat subjek tersebut merupakan bukti bahwa proses penyembuhan yang memiliki struktur semantik dilakukan dengan penyeledikan sehari-hari.
9.2.7 Makna bukan harifah
Idiom dan metefor telah dikaji secara luas oleh para ahli linguistik klinis. Ezell dan Goldstein (1991) menyelidiki pemahaman terhadap idiom pada anak-anak yang mengalami ketidakmampuan belajar. Para subjek diminta memeilih gambar yang sesuai dengan dengan makna (misalnya, menendang karung) dari rangkaian empat gambar yang memasuki variasi idiom (misalnya, gambar seseorang pria yang duduk di atas kursi sambil menonton televisi), representasi harifah (misalnya, seseorang laki-laki yang menendang karung beras) dan variasi harifah (misalnya, seseorang yang sedang mengosongkan karung beras). Tompkins et al. (1992) menyelidiki pelaksanaan percakapan orang-orang dewasa yang mengalami kerusakan otak belahan kiri atau belahan kanan saat mengerjakan tugas-tugas secara on-line untuk menginterpresentasikan idiom. Dalam kajian sebelumnya, Tompkins (1990) memperkirakan pengaruh kerusakan otak belahan kiri dan belahan kanan terhadap pengaktifan dan perosesan makna kata metaforik dan harfiah. Para subjek yang mengalami kerusakan otak diberi kata-kata sifat yang bersifat taksa selama tugas pengambilan keputusan leksikal auditoris. Penekanan kajian Tomkins adalah pada proses-proses kognitif yang mendasari makna metaforik. Dengan demikian, secara teknis kajian ini bersifat kompleks dan kekurangan klinis. Tes-tes metafor lainnya memang lebih sederhana untuk diberikan. Bryan (1988) mengembangkan seperangkat tes yang dapat digunakan untuk menilai bidang-bidang bahasa yang biasanya berkaitan dengan kerusakan otak belahan kanan. Tes-tes ini menyelidiki pemahaman metaforik, di antaranya bidang-bidang makna non-harfiah (misalnya, dugaan makna, humor)
9.2.8 Deiksis
Tidak banyak kajian linguistik klinis yang telah menyelidiki fenomena-fenomena deiksi. Namun demikian, sebagai isyarat sangat pentingnya deiksis sebagai konsep pragmatik inilah sehingga tes formal terhadap komunikasi fungsional (CADL-Communicative Abilities in Daily Living) harus memasukan deiksis sebagai salah satu kategorinya. Dengan cara demikian, para subjek dinilai berdasarkan atas kemampuannya untuk memberikan respons yang benar terhadap ujaran-ujaran seperti ‘would you go over there please?’
9.2.9 Analisis percakapan dan analisis wacana
Para ahli linguistik klinis telah menyelidiki sejumlah besar fenomena-fenomena di bawah subjudul kedua pendekatan ini. Dalam kajian terhadap kemampuan percakapan orang-orang yang mengalami aphasia, Ulattowska et al. (1992) menyelidiki konsep-konsep analisis percakapan seperti tipe-tipe giliran (substantif dan pengelolaan) dan pasangan kedekatan. Namun demikian, mereka juga meneliti tindak tutur, di samping struktur topik dan pemeliharaan naskah (kedua gagasan yang terakhir ini melibatkan sejumlah konsep pragmatik yang telah diselidiki sebelumnya, seperti iferensi logika dan maksim-maksim percakapan (struktur topik) dan pengetahuan serta maksim-maksim percakapan (pemeliharaan naskah)). Ripich dan Terrel (1988) menganalisin pola-pola pada orang-orang yang terkena penyakit Alzheimer. Penggunaan proposisi-proposisi dan piranti-piranti kohesi, di samping koherensi wacana, juga tidak luput dari penelitian mereka, Mentis dan Prutting (1987) meneliti strategi-strategi kohesi pada orang-orang dewasa yang mengalami cidera kepala dalam berbagai kondisi percakapan dan kondisi naratif. Bryan (1988) menggunakan analisis wacana untuk menyelidiki komunikasi fungsional pada para subjek yang mengalami kerusakan otak belahan kiri atau kanan. Yang seringkali menimbulkan berbagai persoalan kajian-kajian linguistik klinis ini dan juga berbagai kajian linguistik klinis lainnya adalah karena mereka kekurangan fokus konseptual. Misalnya, dalam mengkaji penggunaan proposisi oleh para subjek yang menderita penyakit Alzheimer, kategori non-proposisi yang dikemukakan Ripich dan Terrel tak lain adalah penanganan giliran dalam analisis wacana (non-proposisi mempertahankan percakapan tanpa memberikan kontribusi terhadap isinya misalnya, well, uh, now, uh). Namun, dengan tidak adanya upaya apapun untuk memedakan parameter-parameter pragmatik terhadap gagasan-gagasan seperti koherensi ini, berbagai temuan kajian-kajian seperti di atas terbatas sekali kegunaannya dalam mengembangkan profil-profil pragmatok bagi berbagai populasi klinik yang berbeda.
D.     Gangguan-gangguan Prgmatik
9.3  Gangguan-gangguan Pragmatik
            Dalam waktu dua puluh tahun sejak kemunculan pragmatik yang pertama kalinya sebagai bidang penelitian linguistik klinis yang diakui, kejelasan profil tentang defisit pragmatik kelompok-kelompok klinis yang berbeda telah mulai dapat dilihat.
9.3.1 Gangguan Perkembangan Bahasa
            Ganggua bahasa, kelompok gangguan ini terjadi pada anak-anak (oleh karena itu diberi istilah perkembangan) sejak munculnya taksonomi deskriptif gangguan-gangguan perkembangan bahasa (Rapin dan Allen 1983; Bishop dan Rosenbloom 1987) ada banyak kerancuan terminologis yang menyelimuti kelompok gangguan bahasa ini. Hal ini dapat diliahat dalam sejumlah besar istilah-istilah yang berbeda dn mendahului penggunaan label “kurusakan bahasa khusus” dan istilah-istilah ini mencakup “gangguan bahsa”, “kerusakan bahasa”, “penundaan bahasa”  dan “aphasia perkembangan.
            Craig (1991) berusaha mengajukan sebuah perspektif interaksionis dalam ulasannya tentang defisit pragmatik pada kerusakan bahasa khusus. Perspektif ini didasarkan pada pandangan  yang luas pada pragmatik dimana kaidah-kaidah percakapan dan kaidah-kaidah struktur-struktur linguistik  dapat dibedakan tetapi secara fungsional tidak dapat dipisahkan dan kesalingtergantungan antar sistem, misalnya menempatkan persoalan anak yang mengalami kerusakan bahasa dalam memisahkan bentuk dari isi dan penggunaan sehingga defisit sintaksis dapat terjadi dengan adanya semantik dan pragmatik yang utuh. Dan craig juga menyusun sejumlah fungsi yang disebut fungsi percakapan yanga mengalami berbagai macam gangguan dalam kerusakan bahasa khusus- permintaan, komentar, acuan praanggapan, giliran tutur, jawaban, naratif  dan penyusuaian tuturan. Anak-anak yang mengalami kerusakan bahasa khusus dapat mengajukan  berbagai permintaan dan melontarkan komentar. Permintan yang diajukan oleh anak-anak yang mengalami kerusakan bahasa khusus secara gramatikal tidak lengkap, komentar-komentar yang mereka lontarkan seringkali bersifat stereotip misalnya seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang mengalami kerusakan bahasa khusus berkali-kali menggunakan “it’s gone” dalam upaya untuk mulai bermain dengan anak-anak teman bermain yang setara usia dan bahasanya dengan keterampilan bahasa yang normal. Selain itu juga anak-anak ini lebih mengutamakan informasi yang baru dan kuranag memperhtikn informasi yang lama.
            Dilaporkan bahwa anak-anak yang mengalami kerusakan bahasa khusus memperlihatkan memiliki banyak kompetensi pada giliran tutur dalam percakapan. Para peneliti mengamati bahwa ada berbagai macam pola prilaku dalam memberikan respons pada anak-anak yang mengalami kerusakan bahasa khusus, gallagher dan darnton (1978) respons-respons yang diberikan oleh anak-anak yang mengalami kerusakan bahasa khusus terhadap berbagai tipe permintaan terhadap klarifikasi. Kedua peneliti ini mengamati tingakt tidak adanya respons yang sangat rendah dan pengulangan-pengulangan yang persis jarang sekali terlihat. Anak-anak yang mengalami kerusakan bahasa khusus pada tahap satu kata kerlihatan serupa dengan ank-anak yang normal bahasanya dalam menampilkan empat belas fungsi komunikasi mereka. Penyebutan nama jauh lebih jarang terjadi dan pemberian jawaban jauh lebih sering pada anak-anak yang mengalami kerusakan bahasa khusus dari pada anak-anak yang normal bahasanya. Anak-anak yang mengalami kerusakan bahasa khusus terlibat dalam pola prilaku jawaban yang kompleks, anak-anak ini bersikap responsif dalam percakapan. Fungsi naratif bahasa memberikan seperangkat tuntutan pragmatik yang berbeda, namun juga bersifat menentang kepada ank-anak yang mengalami kerusakan bahasa khusus sementara dialog memperkenalkan berbagai pertimbangan seperti pemberian respons dan giliran tutur, narasi melibatkan diantaranya masalah-masalah tema, pengorganisasian dan koherensi.
            Kemampuan untukmenyesuaikan tuturan untuk mengakomodasikan krasteristik-karasteristik seorang pendengar merupakan dari kompetensi pragmatik yang normal. Berbagai kajian telah menunjukan bahwa anak-anak yang mengalami kerusakan bahasa khusu menyadari tentang perlunya melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam tuturan mereka tetapi mereka melakukannya dengan keberhasilan yang terbatas sekali. Para peneliti mengamati bahwa mereka berbicara hanya kepada kedua orang tua mereka dan menunjukan prilaku verbal yang berbeda bila ada ibu mereka dibandingkan bila ada dokter yang tidak mereka kenal atau anak-anak yang normal bahasanya. Para penutur yang mengalami kerusakan bahas khusus juga dapat menyesuaikan pesan-pesan mereka untuk mengakomodasikan pengetahuan pendengar tentang topik pembicaraan. Lilies (1985b) melaporkan bahwa anak-anak yang mengalami kerusakan bahasa khusus membuat naratif-naratif yang berisi lebih banyak kalimat, lebih banyak acuan personal dan ikatan konjungtif, ikatan-ikatan yang lebih lengkap dan tipe-tipe kohensi yang kurang lengkap ketika pendengar berada dalam kondisi yang kurang mendapatkan informasi tentang cerita film yang menjadi landasan naratif-naratif tersebut.
            Dari survei terhadap berbagai kajian tentang defisit pragmatik pada kerusakan bahasa khusus tersebut muncul berbagai macam gambaran tentang sangat pentingnya defisit-defisit ini bagi kelompok anak-anak yang mengalami gangguan bahasa. Jelaslah bahwa beberapa kerusakan pragmatik tertentu merupakan akibat dari persoalan-persoalan struktur bahasa. Dalam kasus-kasus ini setidak-tidaknya defisit pragmatik merupaknan kerusakan primer, bukannya kerusakan sekunder. Pada tahun 1996 Rapin mengkarakterisasikan gangguan defisit pragmatik semantik berdasarkan atas ciri-ciri komunikasi berikut:
Ø Bertele-tele dalam berbicara
Ø Defisit pemahaman untuk tuturan yang berkaitan
Ø Defisit penemuan kata
Ø Pilihan kata yang tidak lazim
Ø Fonologi dan sintaksis yang tidak rusak
Ø Keterampilan kecakapan yang kurang memadai
Ø Berbicara keras bukan kepada seseorang secara khusus
Ø Menjawab diluar inti pertanyaan
9.3.2 Autisme
     Autisme merupakan salah satu gangguan paling heboh yang ditemukan oleh para ahli linguistik klinis. Hebohnya kasus ini lebih disebabkan oleh penayangan film-film seperti Rain Man dsb, oleh hubungan yang dilaporkan antara autisme dan vaksin campak, cacar, rubell (MMR). Autisme tiga hingga empat kalilebih mungkin mengenai anak laki-laki dari pada anak perempuan, gejala –gejala neurobiologis yang berkaitan mencakup membandelnya refleks-refleks yang tidak biasa dan tingginya tingkat gangguan dalam memegang. Kecerdasan yang rendah menimpa sekitar 75 persen kasus namun demikian tidak seperti orang-orang yang mengalami keterlambatan mental primer (ketidak mampuan beajar), yang memiliki skor IQ yang tertekan diantara sejumlah keterampilan, anak-anak autis seringkali mendapatkan skor yang tertekan secara tidak seimbang pada keterampilan verbal dengan skor mereka pada keterampilan non verbal yang seringkali berada dalam kisaran normal. Pada autisme komunikasi dapat menjadi rusak secara serius misalnya menyatakan bahwa tuturan (bahasa lisan) tidak terjadi pada sekitar 50% kasusu autisme. Pada umumnya pada autisme perkembangan bahasa banyak keterlambatan dan menyimpang secara menyolok. Menurut bartak et al menemukan bahwa menemukan bahwa anak-anak autis lebih mungkin dari pada anak-anak yang mengalami kerusakan reseftif bahasa khusus untuk memperlihatkan sejumlah prilaku komunikatif dan non-verbal yang tidak normal.
     Semua anak autis dalam kajian Bartak et al, pada tingkat tertentu menggunakan echolalia. Prevalensi echolalia itu sendiri dalam komunikasi verbal para penutur autis merupakan alasan yang cukup untuk menelitinya dalam konteks ini. Namun demikian echolalia mendapatkan perhatian khusus dalam pembahasan defisit pragmatik pada autisme. Terlepas dari karakterisasi sebagai pengulangan yang tak bermakna terhadap ujaran-ujaran penutur lain, atau sebagai ‘pengulangan tanpa adanya pemahaman’ ada banyak sekali bukti yangmenunjukan bahwa anak-anak autis menggunakan echolalia untuk melakukan fungsi komunikatif dan fungsi-fungsi lainnya. Anak-anak autis diketahui mengalami kerusakan pemahaman terhadap permintaan-permintaan tak langsung. Kemampuan untuk mengetahui pikiran orang lain dan kemampuan untuk menyadari bahwa pikiran-pikiran ini dapat mengandung keyakinan yang salah dan benar merupakan landasan sejumlah fenomena pragmatik lainnya diluar interprestasi non harfiah terhadap permintaan.
     Loveland et al (1988) menemukan bahwa anak-anak autis jauh lebih kecil kemungkinannya untuk menggunakan bahasa isyarat dari pada anak-anak yang mengalami keterlambatan bahasa dan anak-anak yang normal yaitu anak-anak autis dalam kajian ini 89% tidak pernah menggunakan bahasa isyarat.
     Hipotesis “teori pikiran autisme bukan berarti tidak dapat dibantah sama sekali, terlepas dari berbagai kelemahan yang dimilikinya hipotesis ini memberikan penjelasan yang lengkap tentang tiga kerusakan dalam autisme . lebih khusus hipotesis ini dapat menerangkan sejumlah defisit pragmatik yang serius dalam gangguan ini.
9.3.3 ketidakmampuan belajar
Dalam beberapa kajian anak-anak yang mengalami ketidakmampuan belajar selalu merupakan salah satu  dari dua kelompok kontrol. Bermacam-macam dari keterlambatan mental dan kesulitan belajar . Aetiologi-aetiologi  ketidak mampuan belajar yang mencakup berbagai abnormalitas genetika (misalnya, sindroma kerapuhan X) infeksi (misalnya meningitis) gangguan-gangguan metabolisme (misalnya phenylketonuria) dan trauma otak pada awal kehidupan, akibat dari aknosia kelahiran (terampasnya oksigen). Persolan ini mencakup cacat jantung, kerusakan pendengaran dan penglihatan, gangguan tiroid, sistem kekebalan yang lemah, bernafas dan gangguan pencernaan.
                Bayi dan anak yang terkena sindroma down tidakdapatdi bedakan dari bayi dan anak yang terkena autisme dengan keterampilan non verbal mereka yangbaik, meskipun agak terlambat. Cunningham (1988) melaporkan bahwa bayi-bayi yang terkena sindroma down mulai tersenyum ketika di ajak bicara antara usia 1,5 dan 4 bulan. Para subjek yang mengalami ketidakmampuan  belajar menunjukan kerusakan menyolok dalam struktur bahasa reseptif dan produktif.  Bagi sebagian peneliti , kerusakan-kerusakan ini merupakan akibat dari, atau setidak-tidaknya berkaitan dengan, defisit-defisit yang mendasari suatu sifat kognitif. Hubungan tersebut tidak selalu merupakan hubungan kausal langsung. Pada para subjek yang mengalami ketidakmampuaan belajar. Misalnya kim dan lombardino (1991) menyelidiki kondisi perlakuan pemahaman konstruksi semantik pada anak-anak prasekolah yang mengalami keterlambatan mental  (Kim dan lombardino menggunakan istilah keterlambatan mental atau mental retardation ). Dalam kajian ini ada dua perlakuan berbasis naskah dan perlakuan yang tidak berbasis naskah,perlakuan berbasis naskah melibatkan penyajian konstruksi-konstruksi semantik dalam sejumlah aktivitas rutin. Kajian yang dilakukan oleh Bos dan Tierney (1984) merupakan upaya langsung untuk mengaitkan sebagian defisit bahasa para subjek yang mengalami keterlambatan mental dengan persoalan-persoalan pengetahuan yang mendasarinya. Bos dan Tierney menemukan bahwatidak ada perbedaan  yang signifikan dalam hal prestasi  parasubjek yang mengalami keterlambatan mental para subjek yang tidak mengalami keterlabatan mental. Namun demikian dapat dilihat dengan jelas  bahwa pengetahuan ini lebih dapat di terapkan untuk menghasilkan inferensi dalam beberapa konteks wacana (konteks naratif) daripada beberapa konteks wacana yang lain. Dari berbagai penyelidikan lainnya juga ada bukti yang menunjukan bahwa para individu yang mengalami ketidakmampuan belajar bisa menggunakan pengetahuan untuk menutupi khususnya kerusakan-kerusakan reseptif pada struktur bahasa. Dalam hal ini ,Abbbeduto et al.(1991) mengkaji penggunaan konteks dan tidak tutur pada anak-anak  ini mampu menggunakan ciri-ciri konteksuntuk melakukan permintaan-permintaan (misalnya , permintaan please give me the puzzle bersifat taksa bila ada dua teka-teki yang berbeda. Yang jelasrentangan fungsi pragmatig dapat terganggu dalamketidak mampuan belajar ,dengan ukuran-ukuran struktur bahasa yang tidak selalu bertindak sebagai indikator yang dapat di andalkan baik tentang tipe maupun luasnya gangguan tersebut.
9.3.4 kerusakan belahan kiri
Kerusakan terhadap belahan otak kiri menyebabkangangguan bahasa yang di sebut aphasia (juga disebut disphasia) pada hampir semua orangyangtidak kidal dan 50%orang kidal . sebab-sebab kerusakan ini bermacam-macam dan termasuk stroke, tumor otak .
Profil defisit pragamatik pada para penderita  aphasia tersebut serupa dengan profil defisit pragamatik pada anak-anak yang mengalami gangguan bahasa & berkaitan dengan keruksakan struktur  bahasa para subyek ini. Brenneise-Sarshad et al. (1991) meneliti pengaruh pengetahuan pendengar  terhadap isi wacana naratif pada orang dewasa penderita aphasia & yang mengalami keruksakan otak. Dalam kondisi pendengar yang naif, para subyek yang sama ini menceritakan cerita kepada seorang pendengar  yang tidak melihat gambar-gambar itu & tidak memiliki pengetahuan sebelumnya tentang cerita-cerita tersebut. Namun, meskipun naratif tidak dipengaruhi oleh variabel pragamatik pengetahuan pendengar yang ada dalam kajian ini, namun banyak dipengaruhi oleh keruksakan struktur bahasa para penderita aphasia. Para penderita aphasia tidak lancar benar-benar mampu menghasilkan sejumlah kecil kata-kata isi yang diperlukan untuk menjalin pengidentifikasian gambar target. Bahkan, berbagai ketidakakuratan semacam ini berjumlah ‘tak lebih dari 5% dari informasi yang dikomunikasikan oleh para penderita aphasia. Ulatowska et al. (1992) meneliti pelaksanaan percakapan oleh para penderita aphasia melalui dua mode perbandingan: para subjek normal versus para subjek aphasia & penderita aphasia tingkat ringan hingga tingkat sedang versus penderita aphasia dengan keruksakan yang serius. Dimana tuntutan linguistik pada para penderita aphasia rendah, dan defidit-defisit struktural para subjek ini kurang serius, pelaksanaan percakapan para penderita aphasia dianggap normal atau mendekati normal.
9.3.5 kerusakan belahan kanan
Patologi dan trauma yang sama yang menimbulkan kerusakan otak belahan kiri juga dapat merusak otak belahan kanan.
Namun demikian, terlepas dari adanya aetiologi – aetiologi yang serupa, kerusakan otak belahan kiri (LHD)  menghasilkan pola – pola kerusakan yang sangat berbeda  pada para subyek yang terkena . meksipun kerusakan struktur bahasa sangat sering sebagai akibat dati kerusakpan otak belahan kiri , namun deficit kognitif biasanya berhubung dengan kerusakan pada kerusakan otak belahan kanan .
Deficit – deficit ini mempengaruhi perhatian , memori , organisasi , penalaran, pemecahan, persoalan dan orientasi . selama bertahun- tahun , deficit kognitif  dianggap merupakan satu – satunya kerusakan pada para subjek yang  mengalami kerusakan otak belahan kanan. Secara  khusus , bahasa di anggap relative utuh pada para subjek ini . namun demikian , pada tahun- tahun yang lebih akhir , para peneliti telah mulai menjelas kan kerusakan – kerusakan pragmatic yang signitifikan pada populasi klinis HRD , meskipun kemajuan dalam arah ini sebenarnya lambat sekali.
Bidang – bidang pragmatic yang lazim semacam ini seperti maknba non – harfiah , metaphor , idiom – idiom dan humor . dalam bagian ini kita akan mengulas sebagian dari kajian – kajian ini . dengan menyelidiki sebuah  kajian yang merupakan bagian dari upaya lebih luas untuk menghubungkan kerusakan – kerusakan pragmatic pada RHD dengan deficit – deficit kognitif yang mendasarinya .
Munculnya teori relevansi membuka berbagai kemungkinan penjelas baru dalam pragmatic dan dalam bidang- bidang yang lain .
Penderita aphasia dapat di bandingkan dengan pelaksanaan percakapan oleh para subjek yang normal berkenaan dengan  distribusi giliran substantive dan pengelolaan dan berkenaan dengan rentangan tidak tutur yang di gunakan  ( giliran pengelolaan hanya berperan untuk menjaga agar percakapan tetap berjalan , suatu fungsi yang dapat di penuhi oleh konstruksi yang secara gramatikal sederhana sekali , bahkan bersifat stereotif ) .
Para penderita aphasia yang serius , yang menghasilkan kiasaran dan distribusi tindak tutur yang dapat di perbandingkan dengan para subjek yang mengalami kerusakan ringan hingga sedang .
Dari pembahasan deficit – deficit pragmatic hal kerusakan otak belahan kiri muncul dua hal penting yang harus di perhatikan . sebagai deficit ini berasal – usul dari kerusakan – kerusakan struktur bahasa yang sering serius pada aphasia
Keterampilan struktur bahasa produktif dan reseptip . hubungan tersebut merupakan hubungan kausal yang sederhana ,kerusakan struktur bahasa pada aphasia menyebabkan deficit pragm,atik aphasia .
Profil pragmatic para penderita aphasia lebih rumit dari pada yang di tunjukan oleh hubungan kausal sederhana , para penderita aphasia memiliki tingkat pengetahuan  menjelaskan secara eksplisit hubungan antara komunikasi  dan kognisi , fenomena – fenomena pragmatic dengan aspek – aspek kognisi seperti penalaran. Teori relevansi mulai menunjukan kebergunaan klinisnya .
Teori ini cocok sekali untuk menjelaskan berbagai kesulitan komunikasi yang belum banyak di ketahui pada para penderita pasien RHD.
teori relevansi dapat menjelaskan persoalan – persoalan inferensi penghubung para penderita RHD, tiga tipe inferensi penghubung di selidiki pada enam orang subjek penderita RHD dan dua belas subjek control. Ketiga inferensi – inferensi teks , inferensi yang di perkuat teks, dan inferensi ensiklopedik .
9.3.6 cedera kepala tertutup
Cedera kepala tertutup merupakan tipe luka otak traumatic ( TBI ) dimana otak mengalami luka yang tak kunjung sembuh karena suatu jenis benturan tertentu pada kepala ( dalam tipe TBI lebih lanjut – yakni  cedar kepala tembus – otak rusak karena benda asingt ( misalnya peluru) yang menembusnya ) . luka ini mungkin di sebabkan oleh kecelakaan lalu lintas ( penyebab umum cedera kepala pada pemuda ) , perjalanan dan jatuh  ( khususnya pada anak – anak kecil dan para lansia ) , luka karena olahraga ( tinju , ski , dan sebagainya ) , kejahatan dan kekerasan ( sekali lagi, lebih umum terjadi pada pemuda ) dean penyiksaan anak . efek segera terhadap otak karena benturan keras pada kepala – yang di sebut kerusakan otak primer – berbeda – beda dan mencakup patah tengkorak , kontusi atau luka memar ( biasanya segera di bawah titik dampak atau dimana otak terdorong pada salah satu bagian- bagian bertulang pada bagian dalam tengkorak ) , haematomas atau bekuan – bekuan darah  ( baik dalam otak maupun antara otak dan kepala ), luka goresan ( koyakan pada bagian otak yang menonjol dan pembuluh darah terhadap bagian – bagian tengkorak yang bertulang ) dan luka aksonal yang menyebar ( kerusakan sel- sel syaraf pada serabut – serabut syaraf penghubung otak ) . luka – luka otak primer ini , setelah beberapa jam atau hari , biasanya diikuti dengan luka otak sekunder . contoh – contoh luka semacam ini mencakup pembengkakan otak ( oedema ) , peningkatan tekanan dalama tengkorak ( tekanan intracranial ), epilepsy dan infeksi dalam tengkorak ( tekanan intracranial ) , epilepsy dan infeksi dalam tengkorak . meskipun sebagian besar luka otak traumatic dalam keadaan ringan ( rasio ntingkat ringan dan sedang dan tingkat parah dalam hal luka otak .
Deficit komunikasi yang di sebabkan oleh cedera kepala tertutup sangat berbeda dari deficit – deficit yang terjadi pada stroke . perbedaan ini berjkaitan dengan pathologi yang mendasarinya dalam masing- masing kasus . pada stroke ,biasanya terdapat luka focus . pada cedera kepala tertutup , pathologinya jauh lebih mungkin bersifat multifokus ( kita hanya perlu berpikir tentang jumlah dampak berbeda yang terus – menerus di tunjukan oleh luka otak yang disebabkan oleh kecelakaan lalu- lintas di jalan untuk mengetahui seberapa banyak bagian-bagian otak yang berbeda tersebut dapat menjadi rusak pada cedera kepala tertutup ) .
McDonald et al. (1999) mengutip terjadinya aphasia pada cedera kepala dalam kisaran 2 persen hingga 30 persen . mereka juga mengutip kajian – kajian yang meng klaim bahwa aphasia anomik merupakan sindroma aphasia paling umum pada orang dewasa yang mengalami cedera kepala dan bahwa aphasia tidak lancer lebih banyak terjadi pada anak – anak dan remaja yang mengalami cedera kepala . McDonald et al. menyebutkan tugas- tugas penyebutan konfrontasi, penemuan kata atau asosiatif verbal dan tes- tes ber struktur terhadap pamahaman seperti bidang – bidang pelaksanaan percakapan yang mengalami tekanan . akhirnya, sejauh terdapat kerusakan- kerusakan aphasia pada cedera kepala , kerusakan – kerusakan ini memengaruhi modalitas – modalitas komunikasi bukannya produksi dan pemahaman bahasa lisan. Para subjek yang mengalami cedera kepala juga mungkin mengalami bentuk-bentuk disleksia dan disgrafia yang lebih atau kurang serius.
McDonald (1992) berpandangan bahwa kerusakan – kerusakan pragmatic tertentu pada para subjek yang mengalami cedera kepala dapat di kaitkan dengan deficit- deficit kognitif bagian muka yang menonjol pada  para subjek ini . para subjek yang mengalami cedera kepala tertutup ( CHI ) dan para subjek control yang di pasangkan diminta untuk melakukan sejumlah tugas yang dirancang untuk menilai keterampilan pragmatic ekspresif dan reseftif mereka. Para subjek CHI memperlihatkan berbagai macam deficit kognitif berkaitan dengan pathologi bagian muka yang menonjol. Hasil- hasil kajian menunjukan bahwa para subjek CHI mengalami tekanan dalam pelaksanaan percakapan di bandingkan dengan para subjek control pada semua keterampilan pragmatic.
McDonald menghubungkan kerusakan keterampilan pragmatic para subjek CHI dengan deficit- deficit kognitif yang mendasarinya . secara khusus , seorang subjek yang mengalami cedera kepala tertutup
(CHI)  dan gagal mematuhi maksim cara grice menuntut petunjuk- petunjuknya kepada seorang pendengar yang di sekap kedua matanya tentang bagaimana caranya memainkan permainan yang baru menunjukan deficit kognitif bagian muka yang menonjol seperti kelakuan, perseverasi dan keterampilan perencanaan dan pemecahan persoalan yang lemah .
T          emuan- temuan Mc Donald tersebut tampaknya memberikan dukungan minimal untuk sementara waktu terhadap pandanga bahwa kerusakan – kerusakan pragmatic pada cederaq kepala berkaitan dengan deficit- deficit kognitif yang mendasari para subjek yang mengalami cedera kepala
Kajian yang di selidiki lebih awal oleh mentis dan prutting ( 1987 ) mengungkap perbedaan – perbedaan kualitatif antara para subjek normal dan tiga orang subjek CHI di teliti di bawah kondisi ( konteks ) percakapan dan kondisi ( konteks ) cerita. Seperti para subjek CHI dalam kajian di atas, para subjek CHI mentis dan prutting mampu mengubah penggunaan strategi – strategi kohesi mereka di antara kedua kondisi yang di gunakan dalam penyelidikan tersebut.
9.3.7  Penyakit Alzehimer
Penyakit alzehimer  merupakan bentuk demensia ( sakit jiwa ) paling umum, yang jumlahnya sekitar 70 persen di antara kasus- kasus demensia . penyakit ini sebagian besar berkaitan dengan bertambahnya usia – sebanyak 10 persen penduduk di atas usia 65 tahun dan 50 persen penduduk di atas usia 85 tahun mengalami penyakit ini – namun bentuk- bentuk genetic penyakit alzehimer dapat menimpa orang – orang muda meski masih berusia 35 tahun. Sebab- sebab penyakit alzehimer hingga kini masih belum bias di tetapkan. Namun demikian, tampaknya factor – factor genetic memainkan peran kausatif, sebagaimana di tunjukan oleh meningkatnya angak kejadian penyakit alzehimer pada keluarga- keluarga tertentu dan pada orang – orang yang mengalami syndrome down
Berbeda dengan keyakinan umum, penyakit alzehimer merupakan kondisi yang fatal, penyakit ini hanya dapat di diagnosis secara pasti dengan pemeriksaan setelah mati , dimana plak-plak amyloid dan kekusutan neurofibrillium dapat ditemukan pada otak penderita.
Amygdale dan hippocampus – bagian system tungkai otak – sangat rentan terhadap perubahan-perubahan degenerative yang berkaitan dengan plak-plak dan kekusutan-kekusutan ini, kelainan- kelainan histologist dalam penyakit alzehimer ini disertai dengan perubahan- perubahan biokimiawi .
Bayles ( 1984 ) mengkaji beberapa pengaruh longitudinal demensia pada masing- masing sub-sistem bahasa . kemunduran pragmatic di gambarkan dengan bagan dalam hubungannya dengan tahap- tahap awal, menengah , dan lanjut kemajuan penyakit tersebut.
Fromm dan Holland ( 1989 ) menggunakan sebuah tes formal ( communicative abilities in daily living : CADL ) untuk menyelidiki keterampilan komunikasi fungsional pada para subjek yang mengalami penyakit alzehimer tingkat sedang dan ringan
9.3.8. schizophfrenia
Schizopherenia adalah penyakit mental yang paling umum dan paling serius , karena menimpa satu di antara seratus orang . pria dan wanita mengembangkan schizophrenia dengan jumlah yang kira- kira sama. Namun , meskipun gejala- gejalanya munsul pada pria pada akhir usia remaja dan awal usia dua puluhan , gejala- gejala pada wanita biasanya muncul pada usia tiga puluhan, belum ada tes  bagi penyakit schizopherenia , sehingga diagnosis terhadap gangguan ini – yang di lakukan oleh psikiatris – harus di lakukan dengan mengidentifikasi berbagai pengalaman tidak normal ( gejala- gejala positif ) dan tidak adanya perilaku yang normal ( gejala- gejala negative ) . gejala – gejala positif mencangkup kekacauan pikiran ( pikiran yang tidak terorganisir dan tidak logis ) , delusi ( memegang keyakinan yang salah dan ganjil ) dan halusinasi ( persepsi terhadap hal- hal yang tidak ada,khususnya mendengar suara- suara : halusinasi pendengaran ).gejala – gejala negative schizophrenia mencakup perasaan kematian emosi dan perasaan butuh di lindungi , ketidak mampuan berkonsentrasi dan keinginan untuk menghindari orang. Para ahli teori yang lain berpendapat bahwa kerusakan bahasa karena penyakit schizophrenia bukan sebagai bagian dari gangguan bahasa semacam ini, tetapi sebenarnya merupakan akibat dari deficit kognitif pada schizophfrenia   seperti deficit- deficit dalam perhatian dan fungsi eksekutif otak .
9.4 apa yang dapat kita pelajari dari perbedaan – perbedaan pragmatic ?
Dalam ilmu linguistic dan psikologi seringkali di katakana bahwa kita dapat belajar lebih banyak tentang proses – proses bahasa dan berfikir yang normal dengan m,enyelidiki bagaimana proses- proses ini menjadi individu yang mengalami kerusakan otak yang terus- menerus yang di sebabkan oleh luka atau penyakit, hal semacam ini pun juga terjadi dalam pragmatic. Namun demikian , sebagian besar ahli pragmatic lamban dalam mengetahui berbagai manfaat yang bias di ambil dari penyelidikan- penyelidikan yang berorientasi klinis bagi pragmatic .memang , sekarang tidak ada teks umum lainnya tentang pragmatic yang bahkan menyebut- nyebut pragmatic klinis .situasi ini munsul karena para ahli pragmatic merasa enggan untuk terlibat dengan masalah- masalah dan metodologi- metodologi yang sebagian besar  tidak mereka kenal dan tak bias di pisahkan dari kajian- kajian klinis.


BAB III PENUTUP
Kesimpulan
            Patalogi merupakan sebuah kelainan dalam berbahasa, karena tidak sanggup menangkap proses sebuah bahasa baik hal sintaksis, fonologi, morfologi, dan pragmatinya tidak dapat tertangkap adapun beberapa. Penyakit yang ditimbulkan oleh patologi bahasa seperti autisme, penyakit alzehimer, kelainan otak kanan, kelainan otak kiri dan beberapa penyakit lain.
Patologi bahasa yaitu penyelidikan mengenai cacat dan gangguan yang menghambat kemampuan berkomunikasi verbal orang.


Daftar Pustaka
www.google.com Wilkipedia
Louise cummings 2007. Pragmatik sebuah perspektif multidisipliner, pustaka pelajar

Belum ada Komentar untuk "Makalah Pragmatik Patologi Bahasa"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel